Sunday, January 22, 2012

Full Time Mother or Working Mother?


DILEMA! Itu pasti yang ada di benak setiap ibu ketika dihadapkan dengan pilihan tersebut, menjadi seorang ibu itu tak lagi seorang jiwa tapi jiwa yang terbagi (berat banget ya bahasanya), bagaimana tidak terbagi ketika kita tak lagi hanya memikirkan diri sendiri, tetapi keluarga. Ya, suami dan anak. Orang yang sangat kita cintai di dunia.

Kalau boleh memilih, saya yakin semua ibu pengen menjadi ibu yang kaya raya, ngurus suami dan anak, kalau pengen ini-itu tinggal tunjuk, tinggal nyuruh, bisa belanja barang-barang branded dan ikut arisan ala ibu-ibu sosialita. Haduuuh enaknya dunia. Tapi ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa dapur perlu ngebul atau masalah ekonomi apalagi pilihan kita. Ya, pilihan tetap ada ditangan mommies mau menjadi wanita seperti apa, tentunya setelah berembuk dengan suami sebagai kepala keluarga.

Banyak kondisi yang saya lihat, banyak alasan pula dibalik semua keputusan. Kita ambil contoh, ada ibu yang mau menjadi ibu rumah tangga karena pengen total ngurus suami dan anak, atau karena dirasa ekonomi sudah tercukupi dengan penghasilan suami jadi tak perlu bekerja, atau bisa juga karena suami melarang si istri bekerja. Banyak kondisi.

Menjadi ibu bekerja juga banyak alasan, mungkin yang paling banyak kita temui karena alasan ekonomi, penghasilan suami belum cukup untuk kebutuhan rumah tangga atau untuk kebutuhan ‘jajan’ si istri, atau karena alasan pengabdian, eksistensi diri, aktualisasi diri dsb. Semua sah saja asal ada restu suami. Sayang juga udah sekolah tinggi-tinggi kalau tidak diaplikasikan atau tidak digunakan untuk kemaslahatan umat.

Masih banyak alasan seorang wanita memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Wanita disini saya tekankan pada seorang ibu, wanita yang telah memiliki anak. Karena ada perbedaan dengan wanita yang belum beranak. Ok, saya sendiri pernah menjalani dua profesi tersebut. Diawal pernikahan saya memutuskan untuk full ngurus suami dan anak, kebetulan saya langsung dikaruniai buah hati. Ketika itu saya fokus dengan anak, karena tidak punya babysitter dan berniat memberikan ASI eksklusif untuk Aldi, sedangkan pada waktu itu saya belum punya ilmu tentang cara perah dan menyimpan ASI perah. Ya sudah saya putuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, yang siap sedia untuk buah hati saya.

Di usia Aldi yang ke 6 bulan, ada keinginan untuk bekerja. Saya ingin PTT, karena konon kabarnya dengan PTT akan banyak ‘kemudahan’ di masa depan, termasuk ketika mengambil spesialisasi (tapi ini tidak mutlak). Saya berembuk dengan suami, dan alhamdulillah beliau setuju dan meridhoi. Jadilah saya PTT di daerah terpencil. Dan seperti ibu lainnya Aldi saya titipkan dengan babysitter di rumah. Ternyata perang batin yang saya rasakan ketika meninggalkan anak di rumah hanya dengan babysitter sangat luar biasa, apalagi ketika si kecil sedang sakit. So, this is how u feel mothers, menjadi working mother itu tidak gampang karena yang dikorbankan luar biasa : perasaan!

Bekerja sebagai dokter PTT di daerah terpencil, membuka mata batin saya, bahwasanya tenaga kesehatan masih sangat dibutuhkan. Mengobati pasien, melihat mereka sehat, rasanya puas sekali. Dihargai masyarakat, diberi buah tangan sebagai ucapan terima kasih bahkan didoakan oleh mereka membuat saya merasa ‘berguna’. Ya, bekerja dengan hati membuat semua terasa indah.

Setahun berlalu, saya putuskan untuk tak lagi memperpanjang PTT saya, padahal letak yang strategis dengan suasana yang kondusif serta gaji yang lumayan besar harusnya membuat saya sangat betah bekerja. Tapi demi anak saya rela melepas kenyamanan tersebut. Dan karena babysitter yang sudah 2x ganti dan yang terakhir minta mundur, saya mantapkan untuk berhenti. Ya, asisten rumah tangga (ART) atau babysitter di zaman sekarang emang sangat sulit dicari, boro-boro mikir yang baik budi pekertinya, udah mau aja syukur, huff.

Kini, saya kembali menjadi ibu rumah tangga, bahagia pasti. Mengurus anak, melihat dia tumbuh, menjadi orang pertama yang melihat perkembangannya, tak akan pernah terganti dan terulang. Pengorbanan? Ya pasti ada, kenyamanan dan aktualisasi diri ketika bekerja dan ‘uang jajan’ kini tak ada lagi. Saya harus puas dengan pendapatan suami saja. That’s life penuh dengan pilihan. Saya sudah memilih jalan ini, saya tidak pernah malu menjadi ibu rumah tangga, yang bekerja 24 jam dalam seminggu, non stop, karena bayarannya sangat tinggi yaitu : CINTA.

So, ketika orang berdebat siapa yang lebih hebat apakah full time mother atau working mother. Jawaban saya, semua hebat! Semua ada kelebihan dan kekurangan. Semua insya Allah atas kepentingan keluarga dan insya Allah pahala ganjarannya. Yang menjadi tidak baik adalah ketika ibu rumah tangga tidak menjalankan tugasnya dan ibu bekerja yang tak lagi menghiraukan keluarganya.

In the end, saya gak tau bagaimana masa depan saya, apakah akan kembali bersekolah dan bekerja atau selamanya menjadi full time mother. Yang saya tau, saya ingin melakukan yang terbaik saat ini, menikmati apa yang ada dihadapan saya sekarang. Karena sangatlah merugi kalau saya mengeluh ini-itu, atau terus berandai begini begitu, toh hidup gak ada yang sempurna kan moms. Jadi, bagi yang masih galau memilih diantara dua profesi ini, tetap pikirkan yang terbaik, baik untuk diri sendiri dan keluarga tentunya. Dan setelah memilih enjoy saja, jadikan setiap kegiatan kita sebagai ibadah as a full time mother or a working mother.

No comments:

Post a Comment