Monday, February 22, 2016

Hanya Tegar Pilihannya

Hari ini, mungkin 2 minggu yang lalu tidak saya bayangkan hari ini ada. Didepan saya suami sedang makan siang dengan lahap sambil berguarau dengan ketiga anak kami. 

2 minggu yang lalu, tak akan pernah saya lupa dalam ingatan saya, 7 Februari 2016, mungkin menjadi salah satu hari terburuk dalam hidup saya. Hari itu, suami saya dilarikan ke RSUP Dr. Kariadi karena Dengue Shock Syndrome (DSS)


Berawal dari padatnya kegiatan suami yang tidak ada habisnya sejak akhir Januari. Saya sempat beberapa kali marah dan terus menasehatinya untuk istirahat sejenak, tapi selalu pekerjaan tidak bisa ditinggalkan. Bangun tidur tanggal 4 Februari mengeluh panas dan pusing, saya sudah curiga ini DB karena saya pernah mengalaminya (nyeri kepala berat disertai badan yang tiba-tiba panas tinggi, khas sekali untuk DB). Hari itu semua pekerjaan ditinggalkan, yang bisa saya handel saya gantikan. Suami istirahat total dan minum obat resep sendiri. Diminta cek lab belum mau, katanya nunggu esok hari. 

Keesokan harinya, hasil lab menunjukkan tes widal (+) berfikiran ini tyfus seperti yang sudah-sudah. Entah kenapa saya tetap curiga ini DB walau angka trombosit masih di 150.000. Widal juga tak bisa selalu menjadi patokan. Melihat kondisinya yang makin lemas, saya suruh infus saja, tapi belum mau. Hari itu, saya harus menemani tamu 2 hari full di RS. Kondisi suami tidak terpantau, pulang maghrib saya sudah capek, belum menyusui Zidan dan ngurus kakak-kakaknya.

Akhirnya, keesokan harinya diinfus karena setelah cek lab ulang, trombosit 101.000. Bener kan ini DB. Tapi lagi-lagi karena masih harus menemani tamu saya gak bisa merawat suami, dia dikamar sendiri, tidak ada yang memaksa minum (karena DB terapi utamanya hanya mengganti cairan yang bocor!) pulang kerja saya langsung pegang anak-anak dengan pemahaman kalau suami dokter pasti dia tau apa yang harus dilakukan. Ternyata saya salah, semalaman dia gelisah tapi saya gak tau karena kecapekan saya tertidur semalaman sambil ngeloni anak-anak. Subuh saya baru tau kondisinya yang makin lemas, saya juga sempat marah begitu tau seharian hanya minum 1 botol besar aqua. Itu kurang banget!!

Hari itu, kondisi suami makin lemas. Hasil lab trombosit justru naik menjadi 106.000 sehingga internis yang merawat meyakini ini hanya tyfus saja. Seharian panas gak turun-turun berkisar 39-40 dc, sudah dikasih Paracetamol drip pun gak bisa menurunkan panasnya. Nyeri kepala juga tidak hilang. Ini sudah dirawat 1 hari kenapa masih begini batin saya. Saya yang disampingnya terus pantau tekanan darah, hingga pukul 11, tiba-tiba saya raba akralnya Ya Allah kenapa dingin semua, tensi masih 100/60, tapi kemudian permukaan kulit berubah menjadi merah2 gak jelas. Panik, semua differential diagnose bermunculan dibenak saya. Secepatnya saya minta tolong dokter jaga untuk konsul ke internis yang merawat. Sambil nunggu hasil konsul saya menyusui Zidan. Tapi tiba2 terdengar perawat berlarian, feeling saya gak enak. Tau-tau suami saya sudah dipasang O2, saturasi dan disuntikkan Dexametason. Ada apa saya nanya perawat? Tensi 80/50 Bu! Hah? Cepat sekali turunnya. Disuruh rujuk sama DPJP.

Seketika saya lemas, saya bingung, semua teori DHF beserta komplikasinya seliweran dikepala saya. Sambil nunggu transport dan tempat rujukan, saya berkemas saya titipkan ketiga anak saya ke pengasuh, untungnya tabungan ASIP Zidan ada 1 freezer sehingga saya bisa mendampingi suami saya. Rasanya gak kuat membayangkan hal terburuk yang akan terjadi, lalu saya telpon Mama untuk minta support, dan banjirlah air mata saya saat itu, aku takut Ma... Ingat sekali saya terus ngucapin itu sambil menangis tersedu.

Baiklah, pilihan saya saat ini harus kuat, hati kecil saya yakin seutuhnya suami saya bakal baik-baik saja, saya peluk suami saya, saya tanya keadaannya, saya bilang dia harus kuat, saya geret anak-anak biar dia semangat melawan sakitnya. Saya minta anak-anak untuk mendoakan Papanya. Tapi, namanya anak-anak bukannya iba dengan Bapaknya dia lebih prihatin lihat Ibunya yang terus menangis hehe.

Setelah ambulance siap, saya pamit dengan anak-anak dan kembali menitipkannya dengan pengasuh. Namun sesungguhnya, sepenuhnya mereka saya titipkan kepada Allah, Sang Maha Penjaga, Aldi-Vina-Zidan akan baik-baik saja berjauhan dengan orangtuanya saat ini. Hancur hati saya meninggalkan bayi saya yang berumur 3 bulan, walau saya tau ASIP yang ada di freezer cukup tapi dia tak pernah berlama-lama jauh dari ibunya. Ya sudahlah, ini qadarullah, saat ini suami saya lebih membutuhkan perhatian saya.

Bismillah, ambulance melaju dengan kencang. Ironis, ambulance baru ini kami berdua yang beli, interiornya kami yang memilih, tapi saat ini yang tidur di brangkar adalah suami saya. Mata sembab saya terus memperhatikan monitor jantung di ambulance. Entah kenapa tiba-tiba saya benci dengan suara monitor jantung dan sirine ambulance! Tetapi, alhamdulillah kondisi suami membaik, tekanan darah naik dan stabil selama perjalanan, mungkin efek cairan yang diganti sebelum dirujuk, infus diganti dengan HES.  Selama perjalanan tangan saya gak lepas menggenggam suami saya, terkadang airmata masih berjatuhan, walau saya tau suami saya memandang saya dalam diamnya untuk bilang dia tidak apa-apa. Tapi inilah rasanya ketika melihat orang yang kita cintai sakit, remuk.

Sesampainya di IGD RSUP dr. Kariadi kami sudah ditunggu Ibu mertua (yang kebetulan sedang ada acara di Semarang), bersama rekannya yang membantu kami mendapat tempat di RSDK. Kebetulan ini musim sakit, RS dimana-mana penuh, tapi Allah Maha Penolong, saat kebingungan cari tempat rujukan, saat itu teman Ibu ada. Karena kondisi suami saya yang cukup stabil, kami langsung masuk ruang observasi setelah melalui triage. Sekitar 4 jam kami di IGD, lalu diperbolehkan masuk kamar. 

Saya rebahkan diri di sofa kamar, subhanallah hari ini terasa lama sekali, rasanya beberapa saat yang lalu saya tidak menapak tanah melihat kondisi suami yang gawat. I need a hug now gitu batin saya, ah andai ada Mama, apa boleh buat sementara peluk bantal dulu, harus kuat, harus tegar!

6 hari suami saya dirawat, sedih melihat pria tangguh yang selalu melindungi saya terbaring lemah. Ah, ini saatnya berbakti penuh pada suami. Segala perhatian saya berikan, semua keperluannya saya bantu. Walau setengah hati saya lainnya beraattt sekali meninggalkan anak-anak. Saya harus menjadi istri solehah, ini surga saya, walau capek banget ngurus semuanya sendiri tapi insya Allah ganjarannya berlipat. Sabar. Pasti banyak hikmah dibalik ini semua. Lalu, saya anggap saja ini honeymoon, karena sudah lama kita tidak berduaan tanpa anak-anak, walau nggak asik juga ya bulan madu di RS haha.

Hikmah apa yang saya rasakan? Saya mencoba introspeksi, beberapa bulan ini kami sangaaattt sibuk dengan urusan duniawi, ini mungkin cara Allah menegur kami, janganlah urusan dunia mengorbankan urusan akhirat. Masya Allah, sudah lama saya tak sujud lama, berdoa, berdzikir, mengadu segalanya sama Allah. Kembali saya diingatkan apa tujuan saya hidup, untuk beribadah. Hikmah lainnya saya merasa lebih dewasa, lebih kuatlah, saya yang manja ternyata bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu, yaa walau kepepet ya haha..

Kini, alhamdulillaaahhh semua sehat. Mata saya kembali memandang suami dan anak-anak saya, semua tampak bahagia dan ceria. Semoga kami sekeluarga selalu dianugerahi nikmat sehat. Semoga kami tak pernah lupa untuk bersyukur. Dan semoga Allah selalu memberkahi kami. Aamiin.

No comments:

Post a Comment