Thursday, July 9, 2015

Arti Ikhlas

Setelah sekian lama tak menulis di blog karena kesibukan saya, ehmm oke okee karena malas tepatnya *tutupmuka*. Kali ini saya berkeinginan kuat untuk menulis kembali, entah karena perasaan saya lagi sedih sepeninggal kakek saya seminggu lalu (iya, menulis selalu menjadi obat mujarab bagi hati yang sedih). Pak Kaeh begitu panggilan kakek kami. Hvf, seminggu yang lalu, Kamis 2 Juli 2015 saya menerima telpon dari Mama sekitar jam 8.30 pagi. Mini heart attack selalu saya rasakan tiap mendapat telpon dari orang tua di jam yang tidak "wajar" atau tidak biasa kami bercengkrama. Ada apa ini? Hati kecil saya sudah mengatakan, pasti kabar tentang Pak Kaeh. Pelan saya jawab telpon Mama dan benar saja diseberang sana sedang terisak, saya terdiam, "Pak Kaeh sudah gak ada" kata Mama sambil menangis. Saya hanya diam, kesedihan terkadang membuat kita tak bisa berkata-kata. Innalillahi wa innaillahi roji'un.





Sekilas tentang penyakit almarhum. Beliau terkena Aneurisma Aorta Abdominal (AAA) atau terkenal dengan Triple A. Terdiagnosa kurang lebih 2-3 bulan yang lalu. Usia beliau 83 tahun. Cabang pembuluh darah utama dari jantung kakek saya membesar hingga 12 cm dari normal 3 cm. Bisa bayangkan akibatnya? Seperti balon yang terus dihembus, pecah! Ah, saya kadang tidak suka menjadi dokter ketika hal-hal buruk terjadi pada keluarga saya, bagaimana saya harus menjelaskan kepada keluarga atau parahnya bagaimana saya harus menenangkan diri saya sendiri.

Lalu tindakan apa yang bisa dilakukan pada pasien AAA? Di operasi, mengganti pembuluh darah dengan yang sintetis. Tapi bagaimana kalau usia pasien tersebut 83 tahun? Risikonya tinggi, bisa meninggal di meja operasi. Dokter Bedah Kardiovaskuler yang menangani kakek saya pun sangat berhati-hati. Kalaupun iya mau di operasi harus melalui prosedur yang sangaaattt panjang, karena beliau pun takut terjadi apa-apa di meja operasi. Itu belum komplikasi pasca operasi yang harus kami hadapi. Ahh, rasa-rasanya nggak tega, Bapak saya saja ngilu melihat kakek saya meringis kesakitan ketika disuntikkan kontras saat akan CT Scan, bagaimana kami harus melihat yang lebih menyakitkan.

Hasil rembukan keluarga antara nenek saya dan anak-anaknya pada akhirnya memutuskan untuk konservatif saja atau di rawat jalan. Ini seperti buah simalakama, 50 : 50. Nenek saya yang super sabar mengatakan kepada anak-anaknya bahwa ini sudah takdir yang Maha Kuasa, biar Emak yang merawat sampai akhir hayat Epak. Nyess. Semua ikhlas, anak-anak Pak Kaeh ingin beliau menghembuskan nafas terakhirnya di rumah bukan di meja operasi. Dan lagi-lagi keilmuan saya rasanya meronta, bisa saja dilakukan ini dilakukan itu bla bla.. Tapi, sudut pandang bukan hanya dari sisi medis bukan?

Hari-hari berlalu, grup WA keluarga ramai setiap hari menanyakan keadaan Pak Kaeh. Beliau semakin kurus karena tak mau makan, pembuluh darah yang membesar itu sudah sampai menekan lambung sehingga kakek saya selalu merasa kenyang. Rasanya kami seperti berhadapan dengan bom waktu yang setiap hari bisa saja meledak. Karena ketika AAA pecah itulah fase terminal. Dan terbayang bagaimana rasanya pembuluh darah utama dari jantung ketika pecah, dengan morfin saja tidak cukup menghilangkan rasa sakitnya. Sehingga, setiap hari anak-cucu beliau diminta untuk membacakan surat Yasin dan Al Waqiyah untuk kesembuhan beliau atau minimal beliau pergi tanpa rasa sakit.

Hingga hari itu tiba, kakek saya merasakan kakinya gak nyaman, mulai bolak balik ke KM, mulai gelisah, dan sakaratul maut tiba. Om saya menelpon semua saudaranya mengabari bahwa Pak Kaeh kritis. Tak berapa lama didampingi Nenek saya, Bude, Om dan beberapa sepupu saya sambil membimbing beliau melafadzkan ayat-ayat Allah, akhirnya Pak Kaeh pergi meninggalkan kami. Di rumah sendiri, di kamar kesayangannya, didampingi istri, anak dan cucu tercintanya. Dan alhamdulillah fase kesakitan luar biasa ketika AAA pecah tidak terjadi, saya dan suami saya menduga aorta tidak pecah tetapi bocor dan darah merembas perlahan. Doa-doa kami diijabah Allah, beliau tidak merasakan sakit seperti yang digambarkan dokter selama ini.

Dari sanalah saya belajar arti ikhlas, saya yang menggebor-geborkan kalau sampai Pak Kaeh kesakitan harus segera ke IGD cari pertolongan pertama dan seterusnya bla bla sesuai prosedur penanganan pasien gawat yang saya tau, walau dalam hati kecil saya menyadari kalau sampai AAA pecah itu semua tak akan berguna. Kekuatan spiritual yang diyakini keluarga Bapak saya mematahkan protap-protap yang biasa saya jalani sehari-hari. Bapak saya tau betul pergolakan yang saya rasakan, dengan hati-hati beliau mengatakan "Inilah yang kami inginkan, Pak Kaeh meninggal di rumah sehingga bisa di doakan dan dibimbing saat sakaratul maut, kalau di bawa ke RS itu yang tidak bisa dilakukan". Plak! Rasanya saya tersadar, ada satu sisi religi yang jauh lebih penting dibanding RJP atau apalah saat pasien tidak bernafas. Doa, ayat-ayat Allah di akhir hidup yang jauuuhh lebih dibutuhkan saat itu. Jadi, tak perlu heran bila ada pasien sekarat yang justru minta pulang dan di rawat di rumah. Mungkin mereka sudah ikhlas dan lebih memilih berdoa dan berserah diri.

Selamat jalan Pak Kaeh, kami semua kehilanganmu. Semoga engkau meninggal dalam keadaan khusnul khotimah di bulan suci ini. Rasanya ingin protes karena engkau berjanji akan kumpul di hari lebaran esok, tapi ini sudah qadrallah, tidak ada yang bisa memajukan atau memundurkan sedetik saja kematian. Istri yang sangat engkau sayangi, Mak Nyai luar biasa tegar, sabar dan ikhlas. Bisa dibayangkan istri yang setiap harinya kerjanya merawat suami hingga tua lalu kehilangan, rasanya manusia normal akan menangis, meronta, meratapi arti kehilangan itu. Tetapi tidak dengan nenek saya, beliau sangat kuat, bahkan saya tidak menemukan raut wajah kesedihan. Apakah beliau tidak sedih? Bukan, saya tau beliau pasti merasa kehilangan (saya sampai menanyakan bagaimana perasaannya, saking penasarannya hehe) tapi inilah tingkatan keimanan yang belum banyak orang capai. Ikhlas. Merelakan belahan jiwanya diambil Allah, Sang pemilik kehidupan, pemilik dunia beserta isinya. Iya, dari beliau saya belajar arti ikhlas.

No comments:

Post a Comment