Hari ini, mungkin 2 minggu yang lalu tidak saya bayangkan hari ini
ada. Didepan saya suami sedang makan siang dengan lahap sambil berguarau
dengan ketiga anak kami.
2 minggu yang lalu,
tak akan pernah saya lupa dalam ingatan saya, 7 Februari 2016, mungkin
menjadi salah satu hari terburuk dalam hidup saya. Hari itu, suami saya
dilarikan ke RSUP Dr. Kariadi karena Dengue Shock Syndrome (DSS).
Berawal
dari padatnya kegiatan suami yang tidak ada habisnya sejak akhir
Januari. Saya sempat beberapa kali marah dan terus menasehatinya untuk
istirahat sejenak, tapi selalu pekerjaan tidak bisa ditinggalkan. Bangun
tidur tanggal 4 Februari mengeluh panas dan pusing, saya sudah curiga
ini DB karena saya pernah mengalaminya (nyeri kepala berat disertai
badan yang tiba-tiba panas tinggi, khas sekali untuk DB). Hari itu semua
pekerjaan ditinggalkan, yang bisa saya handel saya gantikan. Suami
istirahat total dan minum obat resep sendiri. Diminta cek lab belum mau,
katanya nunggu esok hari.
Keesokan harinya,
hasil lab menunjukkan tes widal (+) berfikiran ini tyfus seperti yang
sudah-sudah. Entah kenapa saya tetap curiga ini DB walau angka trombosit
masih di 150.000. Widal juga tak bisa selalu menjadi patokan. Melihat
kondisinya yang makin lemas, saya suruh infus saja, tapi belum mau. Hari
itu, saya harus menemani tamu 2 hari full di RS. Kondisi suami tidak
terpantau, pulang maghrib saya sudah capek, belum menyusui Zidan dan
ngurus kakak-kakaknya.
Akhirnya, keesokan
harinya diinfus karena setelah cek lab ulang, trombosit 101.000. Bener
kan ini DB. Tapi lagi-lagi karena masih harus menemani tamu saya gak
bisa merawat suami, dia dikamar sendiri, tidak ada yang memaksa minum
(karena DB terapi utamanya hanya mengganti cairan yang bocor!) pulang
kerja saya langsung pegang anak-anak dengan pemahaman kalau suami dokter
pasti dia tau apa yang harus dilakukan. Ternyata saya salah, semalaman
dia gelisah tapi saya gak tau karena kecapekan saya tertidur semalaman
sambil ngeloni anak-anak. Subuh saya baru tau kondisinya yang makin
lemas, saya juga sempat marah begitu tau seharian hanya minum 1 botol
besar aqua. Itu kurang banget!!
Hari itu,
kondisi suami makin lemas. Hasil lab trombosit justru naik menjadi
106.000 sehingga internis yang merawat meyakini ini hanya tyfus saja.
Seharian panas gak turun-turun berkisar 39-40 dc, sudah dikasih
Paracetamol drip pun gak bisa menurunkan panasnya. Nyeri kepala juga
tidak hilang. Ini sudah dirawat 1 hari kenapa masih begini batin saya.
Saya yang disampingnya terus pantau tekanan darah, hingga pukul 11,
tiba-tiba saya raba akralnya Ya Allah kenapa dingin semua, tensi masih
100/60, tapi kemudian permukaan kulit berubah menjadi merah2 gak jelas.
Panik, semua differential diagnose bermunculan dibenak saya. Secepatnya
saya minta tolong dokter jaga untuk konsul ke internis yang merawat.
Sambil nunggu hasil konsul saya menyusui Zidan. Tapi tiba2 terdengar
perawat berlarian, feeling saya gak enak. Tau-tau suami saya sudah
dipasang O2, saturasi dan disuntikkan Dexametason. Ada apa saya nanya
perawat? Tensi 80/50 Bu! Hah? Cepat sekali turunnya. Disuruh rujuk sama
DPJP.
Seketika saya lemas, saya bingung, semua
teori DHF beserta komplikasinya seliweran dikepala saya. Sambil nunggu
transport dan tempat rujukan, saya berkemas saya titipkan ketiga anak
saya ke pengasuh, untungnya tabungan ASIP Zidan ada 1 freezer sehingga
saya bisa mendampingi suami saya. Rasanya gak kuat membayangkan hal
terburuk yang akan terjadi, lalu saya telpon Mama untuk minta support,
dan banjirlah air mata saya saat itu, aku takut Ma... Ingat sekali saya
terus ngucapin itu sambil menangis tersedu.
Baiklah,
pilihan saya saat ini harus kuat, hati kecil saya yakin seutuhnya suami
saya bakal baik-baik saja, saya peluk suami saya, saya tanya
keadaannya, saya bilang dia harus kuat, saya geret anak-anak biar dia
semangat melawan sakitnya. Saya minta anak-anak untuk mendoakan Papanya.
Tapi, namanya anak-anak bukannya iba dengan Bapaknya dia lebih prihatin
lihat Ibunya yang terus menangis hehe.
Setelah
ambulance siap, saya pamit dengan anak-anak dan kembali menitipkannya
dengan pengasuh. Namun sesungguhnya, sepenuhnya mereka saya titipkan
kepada Allah, Sang Maha Penjaga, Aldi-Vina-Zidan akan baik-baik saja
berjauhan dengan orangtuanya saat ini. Hancur hati saya meninggalkan
bayi saya yang berumur 3 bulan, walau saya tau ASIP yang ada di freezer
cukup tapi dia tak pernah berlama-lama jauh dari ibunya. Ya sudahlah,
ini qadarullah, saat ini suami saya lebih membutuhkan perhatian saya.
Bismillah,
ambulance melaju dengan kencang. Ironis, ambulance baru ini kami berdua
yang beli, interiornya kami yang memilih, tapi saat ini yang tidur di
brangkar adalah suami saya. Mata sembab saya terus memperhatikan monitor
jantung di ambulance. Entah kenapa tiba-tiba saya benci dengan suara
monitor jantung dan sirine ambulance! Tetapi, alhamdulillah kondisi
suami membaik, tekanan darah naik dan stabil selama perjalanan, mungkin
efek cairan yang diganti sebelum dirujuk, infus diganti dengan HES.
Selama perjalanan tangan saya gak lepas menggenggam suami saya,
terkadang airmata masih berjatuhan, walau saya tau suami saya memandang
saya dalam diamnya untuk bilang dia tidak apa-apa. Tapi inilah rasanya
ketika melihat orang yang kita cintai sakit, remuk.
Sesampainya
di IGD RSUP dr. Kariadi kami sudah ditunggu Ibu mertua (yang kebetulan
sedang ada acara di Semarang), bersama rekannya yang membantu kami
mendapat tempat di RSDK. Kebetulan ini musim sakit, RS dimana-mana
penuh, tapi Allah Maha Penolong, saat kebingungan cari tempat rujukan,
saat itu teman Ibu ada. Karena kondisi suami saya yang cukup stabil,
kami langsung masuk ruang observasi setelah melalui triage. Sekitar 4
jam kami di IGD, lalu diperbolehkan masuk kamar.
Saya
rebahkan diri di sofa kamar, subhanallah hari ini terasa lama sekali,
rasanya beberapa saat yang lalu saya tidak menapak tanah melihat kondisi
suami yang gawat. I need a hug now gitu batin saya, ah andai ada Mama,
apa boleh buat sementara peluk bantal dulu, harus kuat, harus tegar!
6
hari suami saya dirawat, sedih melihat pria tangguh yang selalu
melindungi saya terbaring lemah. Ah, ini saatnya berbakti penuh pada
suami. Segala perhatian saya berikan, semua keperluannya saya bantu.
Walau setengah hati saya lainnya beraattt sekali meninggalkan anak-anak.
Saya harus menjadi istri solehah, ini surga saya, walau capek banget
ngurus semuanya sendiri tapi insya Allah ganjarannya berlipat. Sabar.
Pasti banyak hikmah dibalik ini semua. Lalu, saya anggap saja ini
honeymoon, karena sudah lama kita tidak berduaan tanpa anak-anak, walau
nggak asik juga ya bulan madu di RS haha.
Hikmah
apa yang saya rasakan? Saya mencoba introspeksi, beberapa bulan ini
kami sangaaattt sibuk dengan urusan duniawi, ini mungkin cara Allah
menegur kami, janganlah urusan dunia mengorbankan urusan akhirat. Masya
Allah, sudah lama saya tak sujud lama, berdoa, berdzikir, mengadu
segalanya sama Allah. Kembali saya diingatkan apa tujuan saya hidup,
untuk beribadah. Hikmah lainnya saya merasa lebih dewasa, lebih kuatlah,
saya yang manja ternyata bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu,
yaa walau kepepet ya haha..
Kini,
alhamdulillaaahhh semua sehat. Mata saya kembali memandang suami dan
anak-anak saya, semua tampak bahagia dan ceria. Semoga kami sekeluarga
selalu dianugerahi nikmat sehat. Semoga kami tak pernah lupa untuk
bersyukur. Dan semoga Allah selalu memberkahi kami. Aamiin.
No comments:
Post a Comment